Paradigma kemenangan sering kali didefinisikan secara sempit sebagai
sebuah hasil akhir yang diharapkan dalam mencapai sebuah tujuan.
Sehingga nilai kemenangan selalu disetarakan dengan sisi-sisi yang
bersifat materiil atau dapat dirasakan langsung. Padahal sebenarnya
tidak selalu demikian. Persepsi ini sering dipahami oleh sebagian
kelompok yang menganut paham materialistis. Sehingga ketika tujuan
tidak tercapai dalam waktu yang telah direncanakan, maka sudah divonis
sebagai sebuah kegagalan.
Semoga kita tidak terjebak dengan
persepsi sempit seperti di atas. Sebab, Kemenangan dalam perspektif
Islam tidak mutlak diukur dengan tercapainya sebuah tujuan dalam waktu
yang diinginkan. Maka, peristiwa hijrah menurut persepsi penulis adalah
pelajaran berharga yang harus dipahami oleh setiap individu muslim dalam
memahami ruang lingkup kesuksesan yang sebenarnya.
Mari kita coba
sedikit menganalisa fase dakwah Rasulullah saw selama 13 tahun di Mekah
sebagai bahan renungan kita terhadap persepsi ‘menang’. Karena begitu
banyak peristiwa berharga yang dialami Rasulullah dan para
sahabat selama di Mekah, yang jika dirasionalisasikan pada saat itu
terkesan sebagai sebuah kegagalan.
Suatu hari, ketika Rasulullah
saw menyampaikan risalah Islam di Thaif, beliau menghadapi tantangan
yang luar biasa. Bukan sambutan hangat yang beliau dapat, tapi
sebaliknya beliau mengalami luka yang cukup parah. Tapi bagaimana sikap
Rasulullah? Ia hanya mengucapkan satu kata “Allahummahdi Qaumiy fainnahum laa ya’lamun”. Padahal
ketika itu Jibril datang menawarkan, jika Rasulullah berdoa kepada
Allah untuk membalikkan gunung-gunung yang ada dan dilemparkan kepada
kaum musyrikin Thaif maka malaikat Jibril akan melakukan hal tersebut.
Sikap ini sangat sulit untuk kita rasionalisasikan, akan tetapi
mengandung nilai kemenangan yang baru terbukti dan dirasakan beberapa
tahun setelah peristiwa itu terjadi.
Banyak kisah sebenarnya yang
dapat dijadikan pelajaran penting dalam memahami makna sukses dari
perjalanan dakwah Rasulullah baik pada fase Mekah ataupun setelah beliau
hijrah ke Madinah. Tapi mengapa peristiwa hijrah begitu besar
pengaruhnya dalam proses perjalanan dakwah Rasulullah saw? Benarkah
kesimpulan yang mengatakan bahwa hijrah merupakan momen “Fatihatun Nashr” kemenangan-kemenangan Islam pada fase berikutnya? Atau apakah prasyarat keberhasilan itu harus selalu dimulai dengan hijrah?
Memahami Makna Hijrah
Secara
etimologi, hijrah berarti meninggalkan, atau berpindah dari suatu
tempat ke tempat yang lain. Lalu Makna yang kedua ini sering dipakai
dalam mendefinisikan hijrah secara terminologi. Tidak sulit untuk
memberikan definisi terhadap peristiwa hijrah yang dilakukan oleh
Rasulullah. Karena secara sederhana hijrah adalah perpindahan Rasulullah
dan para sahabat dari Mekah ke Madinah. Namun yang terpenting adalah
memahami nilai-nilai hijrah itu sendiri untuk diterapkan pada tataran
kehidupan kekinian.
Tak dapat diragukan lagi, peristiwa hijrah
merupakan titik awal perubahan besar yang akan terjadi sesudahnya.
Hijrah telah melepaskan kaum muslimin dari cengkraman jeruji
kejahiliyahan dan tekanan kaum musyrikin Mekah. Di samping itu hijrah
juga merupakan batas pemisah antara dua masa yang sangat berarti dalam
perjalanan dakwah dan penerapan syariat, yaitu yang dikenal dengan fase Makkiy dan fase Madaniy. Sehingga dikenallah istilah surat Makiyah dan surat Madaniyah dalam Al Quran.
Banyak
ujian dan cobaan yang telah dihadapi oleh Rasulullah dan para sahabat
sebelum diizinkan untuk berhijrah. Sumayyah ibunda ‘Ammar bin Yasir
merupakan orang pertama dalam Islam yang syahid dalam Islam ketika
mempertahankan keyakinannya. Lalu mengapa Allah baru mengizinkan hijrah
kepada Rasulullah dan para sahabatnya setelah 13 tahun fase dakwah di
Mekah? Walaupun sebelumnya, telah terjadi peristiwa hijrah pertama ke
bumi Habsyah. Bukankah Allah swt bisa berbuat sekehendaknya untuk
memberikan kemudahan dan kemenangan kepada Rasulullah saw dan para
sahabat?
Di antara salah satu hikmah yang utama dari proses dakwah
fase Mekah ini adalah proses selektifitas kader dakwah yang betul-betul
matang untuk melanjutkan estafet dakwah menuju fase-fase berikutnya.
Karena jika Allah membukakan kemenangan secara mudah kepada kaum
muslimin, maka kemenangan itu tidak akan terasa manis karena didapat
dengan begitu mudah dan ketahanannya pun cenderung tidak bertahan lama.
Maka ketika pertama kali dakwah dimulai, seiring itu pula terjadi proses
latihan dan penyaringan yang sangat selektif dan alami. Dan ternyata,
mereka inilah yang pada akhirnya berhasil menjadi busur sekaligus anak
panah perkembangan Islam menuju puncak kejayaannya.
Setelah kita
memahami makna hijrah yang sesungguhnya, sebagai sebuah proses yang mau
tidak mau harus dijalani setiap individu muslim agar bisa mewujudkan
kemenangan maka kita dapat menyimpulkan bahwa jika setiap muslim mampu
melakukan hijrah niscaya ia akan menang. Tentu hijrah yang dilakukan
Rasulullah dan para sahabat tidak dimaknai secara literlek yang harus
kita terapkan saat ini. Kenapa? Karena Rasulullah saw sendiri sudah
menyatakan “La Hijrata Ba’dal fath walakin Jihadun waniyyah” (sudah
tidak ada hijrah setelah terbuka pintu kemenangan (Fath Makkah), Akan
tetapi masih tersisa jihad dan niat untuk berhijrah. Sebagian ulama
menafsirkan niat di sini adalah sebagai sebuah perpindahan dari
kehidupan yang jauh dari nilai-nilai ilahi menuju kehidupan yang penuh
dengan nilai-nilai rabbani.
Mengapa Hijrah Sebagai Pembuka Kemenangan?
Dari peristiwa hijrah kubro yang
dilalui Nabi dan para sahabat, ada beberapa indikasi yang dijadikan
faktor utama kemenangan dakwah. Faktor–faktor ini dapat kita lihat dari
beberapa pelajaran dan ibrah yang kita ambil dari rentetan peristiwa
hijrah itu sendiri. Di antaranya adalah:
1. Sabar Dalam Menghadapi Makar Musuh
Begitu
banyak rekaman sejarah dalam Al-Qur’an maupun sunnah yang menggambarkan
permusuhan abadi kaum kufar dan musyrikin terhadap Islam dan kaum
muslimin. Permusuhan ini biasanya disertai makar yang senantiasa mencoba
untuk menggoyahkan keimanan dengan menggunakan segala daya dan upaya.
Banyak cara yang mereka gunakan, baik dengan menawarkan harta dan
kesenangan ataupun dengan siksaan demi siksaan. Nah, di sinilah sabar
merupakan tameng awal dan jawaban dari semua itu. Sebab, sabar dalam
perspektif Islam tidak kenal batas. Sabar dapat diterapkan dalam
ketaatan, menghindari maksiat, dan bersabar dalam menghadapi musibah.
Rasulullah
adalah orang pertama yang menerapkan sabar, bahkan ketika maut hampir
menghampirinya ketika berdakwah dijalan Allah, ia hanya berkata “Allahummahdi qaumi fainnahum la ya’lamun”. Subhanallah!
Rasulullah tidak tergesa-gesa mengejar kemenangan, dan sikap ini juga
yang terpatri dalam jiwa setiap sahabat. Kesabaran inilah yang telah
melahirkan semangat jihad dan semakin menambah keyakinan mereka bahwa
jalan yang mereka tempuh penuh dengan cahaya. Sikap sabar ini juga
melahirkan pribadi yang istiqamah dan tidak mudah goyah. Maka sabar
merupakan sebuah prasyarat mutlak dalam meniti tangga-tangga
keberhasilan.
2. Al Akhzu bil asbab
Etos
kerja ataupun usaha tidak boleh diabaikan begitu saja. Artinya, seluruh
potensi harus dikerahkan yang disesuaikan dengan kondisi yang
melingkupi saat itu. Rasulullah adalah contoh tauladan sebagai seorang
sosok yang tak mudah menyerah dengan hanya mengandalkan satu cara. Ia
selalu berfikir dan berbuat dengan amal yang sangat variatif agar dakwah
mudah diterima dan cepat berkembang. Segala kreativitas dan inovasi
dakwah beliau kerahkan. Gagal dengan satu cara beliau memanfaatkan
metode lain. Sehingga beliau tidak pernah putus asa. Ini merupakan
konsep membangun motivasi yang sangat jitu.
Ketika dakwah beliau
di kota Mekah dan perkampungan sekitarnya tidak begitu mendapatkan
sambutan yang positif. Beliau melihat ada potensi lain yang bisa
dilakukan, yaitu mendakwahi para kabilah yang datang dari luar kota
Mekah pada musim-musim haji. Pertemuan ini dilakukan Rasulullah di luar
kota Mekah bersama kaum Auz dan Khazraj tepatnya di daerah yang bernama al ‘aqabah dan dalam catatan sejarah dikenal dengan bai’atul aqabah al ula. Perwakilan
kaum Auz dan Khazraj terdiri dari 12 orang yang telah menyatakan
keislaman mereka. Kreativitas dakwah Rasulullah tidak terhenti sampai di
situ saja, lalu ia mengutus Mus’ab bin ‘Umair yang dikenal sebagai duta
Islam pertama untuk kembali ke Yatsrib bersama kaum Auz dan Khazraj.
Peristiwa
ini, pada akhirnya merupakan cikal bakal peristiwa hijrah beberapa
tahun sesudahnya. Dan setelah terjadi kesepakatan antara kaum muslimin
mekah dan Yatsrib ketika itu bahwa pusat dakwah akan dipindahkan dari
Mekah ke Madinah, maka mulailah para sahabat melakukan hijrah sampai
pada akhirnya diikuti oleh Rasulullah ketika telah turun wahyu yang
mengizinkan beliau untuk hijrah. Momen ini sangat punya peran penting
terhadap pertumbuhan dakwah dan akumulasi koalisi kekuatan Islam pada
masa berikutnya.
3. Sistem Yang Rapi Prasyarat Kemenangan
Rentetan
peristiwa hijrah, yang mungkin sebagian besar bahkan sudah sangat
hafal, mengisyaratkan bahwa sebuah pekerjaan besar harus menggunakan
sistem serta manajemen yang tertata rapi. Adanya pembagian tugas serta
perencanaan yang sistematis dan matang, dan masing-masing individu
memahami posisinya sehingga tidak terjadi benturan tugas yang akhirnya
berakibat kepada proses sebuah rencana itu sendiri. Kita harus mampu
memposisikan the right man on the right place.
Rasulullah
adalah sosok yang brilian dalam menyusun strategi dan manajemen. Dengan
kecerdasannya, ia dibantu Abu bakar dan sahabat lain telah berhasil
mensukseskan perjalanan hijrah dengan selamat dan tanpa pertumpahan
darah ataupun benturan fisik.
Namun ironis, tatanan sistem yang
kokoh dan manajemen yang rapi telah hilang dari dunia Islam dan bahkan
sudah diadopsi oleh Barat. Bahkan lebih dari itu, umat Islam seolah
mengaminkan saja bahwa Islam tidak pernah kenal dengan konsep sistem dan
manajemen yang rapi.
Kemenangan selamanya tidak akan bisa diraih
hanya dengan mengandalkan semangat bekerja saja, akan tetapi harus
dibarengi dengan membangun sistem dan manajemen yang komprehensif. Di
samping itu perlu adanya kejelian melihat situasi dan kondisi. Jangan
sampai kita kehilangan daya kreativitas karena alasan lingkungan dan
kondisi yang ada di sekitar kita. Kelemahan fatal diri kita adalah
ketika kita tidak lagi mengenal diri kita. Jika hal itu terjadi, maka
secanggih apapun sistem dan manajemen yang dibangun maka akan berakhir
sia-sia.
4. Membangun Stabilitas Sosial
Pertama
kali yang dilakukan Rasulullah saw di Madinah atau tepatnya di qubah
adalah membangun Masjid. Dalam perspektif Islam, masjid tidak sebatas
sebagai tempat ibadah vertikal antara hamba dan Rabb-Nya. Akan tetapi
Masjid juga bisa berfungsi sebagai tempat menata kehidupan sosial
masyarakat. Karena Islam dengan tegas mengakui bahwa manusia terdiri
dari dua sisi yang harus selalu seimbang, yaitu materiil dan sprituil.
Setelah
sarana dibangun, maka Rasulullah berfikir perlu adanya pembangunan dan
pengembangan sumber daya manusia untuk menjalankan fungsi dalam sebuah
sistem kehidupan yang baru. Maka nabi segera mengambil inisiatif untuk
mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Sebab, persaudaraan
ini akan mempercepat proses perubahan sosial di tengah komunitas
masyarakat. Kaum Muhajirin yang lebih memiliki skil dalam sistem
perdagangan kembali menghidupkan pasar, dan bahkan dalam sejarah
tercatat bahwa Rasulullah adalah orang pertama yang membangun pasar
sebagai pusat ekonomi di Madinah. Kaum Anshar pun tetap dalam profesi
mereka semula sebagai petani yang lebih spesifik mengurus pertanian.
Dalam
proses selanjutnya, karena persaudaraan yang Rasul bina berdasarkan
nilai keimanan dan keikhlasan, secara alami dan bertahap mulai tercipta takaful ijtima’iy (solidaritas
sosial) di antara komunitas sosial yang sangat plural di kota Madinah.
Bahkan nilai ukhuwah itu tercatat indah dalam berbagai kisah mengharu
biru bagaimana ketika saad bin rabi’ menawarkan harta dan salah satu
istrinya untuk diberikan kepada Abdurrahman bin Auf. Namun akhirnya
Abdurrahman bin Auf lebih memilih untuk memulai kehidupan barunya
sebagai pedagang dan menolak secara halus tawaran saudaranya, sampai
akhirnya ia berhasil menjadi saudagar yang berhasil.
Stabilitas
sosial yang mapan akan menjadi faktor pendukung terbukanya pintu-pintu
kemenangan dan kejayaan. Hal itu terbukti ketika kaum muslimin
memenangkan perang Ahzab. Peperangan dengan jumlah tidak seimbang ini
mampu dimenangkan oleh kaum muslimin, tidak terlepas dari stabilitas
sosial yang telah Rasulullah bina. Sehingga para sahabat begitu memahami
nilai ukhuwah dan amal jama’iy (kerja kolektif) yang akhirnya mampu
memukul mundur koalisi pasukan musuh. Pada perang Khandaq ini juga
Rasulullah memberikan kabar gembira kepada para sahabat yang beliau
dapatkan dari Malaikat Jibril, bahwa setelah perang ini usai akan
terjadi penaklukan besar-besaran di dataran Syam, Persia dan Yaman.
Kemenangan
demi kemenangan mampu diraih kaum muslimin sehingga berhasil menguasai
dua pertiga luas bumi di bawah naungan Islam selama lebih kurang delapan
abad. Kemenangan itu tidak terwujud dengan mudah, tapi butuh waktu yang
panjang dan pengorbanan tak terkira. Rahasia kemenangan ini sangat
sederhana; sebagaimana dalam firman Allah In tanshurullah yanshurukum wayutsabbit aqdamakum”.
Dunia
Islam kini tak secerah masa lalu. Sepertinya kita perlu merapikan
kembali hubungan kita dengan Allah. Sudahkah kita menolong Allah?
Sehingga Allah pun akan menolong kita. Kita selalu ingin menang, tapi
sayang kita tak pernah kenal persepsi menang yang sesungguhnya. Wallahu a’lam.
Categories:
Tsaqafah Islamiyah